MAPALAUINRF-Soe Hok Gie
adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra
dari pasangan Soe Lie Pit seorang novelis dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie
adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam
Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan
nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah
sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di
pinggir-pinggir jalan di Jakarta.
Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi
perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di
Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok
Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya
Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga
tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3uFY72gUPYh-jrXAEha1VNxVoaKK6TrYD9Ts_psbGeL9pNx5CANzEUvGxoN8Wn_ThGxp1xD-duSzmWNJ2m1IkfpYeca09IYrD0HkZQJtD2eLr7fIVQpgrDYBo_5Kl5yJxtQ5DoRHghBI/s320/20081215_035252_hoek2.jpg)
Sesudah
lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief
Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di
bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari
Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?
Pada waktu
kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia
diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau
mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah
sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah
Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.
Selepas dari
SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra.
Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain
jurusan, yakni ilmu alam.
Selama di
SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia
mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai
bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan
yang tajam dan penuh kritik.
Ada hal baik
yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak
berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke
Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah ,
sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.
Di masa
kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan
Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama
yang mengritik tajam rejim Orde Baru.
Gie sangat
kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66
mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus
berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie
memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Selain itu
juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik
gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt
Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the
best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the
earth”.
Pemikiran dan
sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang
kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat
berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez
disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie
lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Bersama
Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m.
Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan
Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami
jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah
manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin
tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai
sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air
Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari
dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan
fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember
sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang
terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief
hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada
kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria,
Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini
adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok
Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya
yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal
bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung
Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
Makam soe Hok Gie
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua
hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali
Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun
keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal
sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan
tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak
Gunung Pangrango.
No comments:
Post a Comment