MAPALAUINRF-Soe Hok Gie (lahir
di Djakarta, 17 Desember 1942 – meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember
1969 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan
mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun
1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
Soe
Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet
alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin,
dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan
sekarang berdomisili di Australia.
Selain
aktivis dan penulis, Gie juga merupakan pelopor Mahasiswa Pecinta Alam
yang pertama. Idenya atas MAPALA pertama kali dikemukakannya suatu sore
tanggal 8 November 1964 pada beberapa rekan mahasiswanya. Dengan
bertujuan tiga hal, yaitu:
Memupuk patriotisme yang sehat
Kiprahnya
sebagai pecinta alam sangat terkenal di kalangan pecinta alam. Bila
seorang pecinta alam belum mengenal atau mendengar namanya belumlah
disebut sebagai pecinta alam. Tempat favoorit Gie adalah lembah
Mandalawangi di Gunung Gede Pangrango. Gie adalah seorang pemuda yang
amat kritis terhadap politik kala itu, namun dia tidak pernah mau terjun
ke dunia politik praktis dan lebih memilih untuk melakukan
pendakian-pendakian di beberapa gunung.
Gie
mengakhiri perjalanan hidupnya di Gunung Semeru tepat sehari sebelum
usianya 27 tahun yaitu 16 Desember tahun 1969 dalam dekapan sahabatnya,
Herman O. Lantang bersama sahabatnya Idhan Lubis yang katanya disebabkan
karna menghirup gas beracun kawah Jonggring Saloka. Sebagian pendaki
tidak mempercayai alasan kematian Gie karna sebagai seorang pendaki, dia
pastilah dapat memperkirakan hal-hal yang dapat membahayakan dirinya.
Gie
sempat dimakamkan di Tanah Abang, namun kemudian akhirnya jenazahnya
dikremasi dan abunya ditebar di tempat yang paling dicintainya, lembah
kasih lembah Mandalawangi. Sedang prasastinya dapat kita temukan di
Gunung Semeru tempat Gie menuju peristirahatan terakhirnya.
Seluruh
perjalanan hidup Gie yang pernah berumah tinggal di bilangan Kebon
Jeruk ini telah dijadikan buku oleh seorang Australia bernama John
Maxwell dengan judul Soe Hok Gie - A Biography Of A Young Indonesian Intelectual,
yang menandakan bahwa dirinya tidak hanya dikagumi di negeri sendiri,
namun juga hingga kancah internasional. Gie juga menolak mengganti
namanya menjadi nama Indonesia, di kala banyak orang Tionghoa merubah
namanya menjadi nama Indonesia dengan alasan diplomatis.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang
prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku
harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_G6oDHermz-oD8naI9llvIMubsdLjBEcFXsdM9uxAhMRSwV14w13FNm-ENMdOTPKRyXGrzm1Gv3BXT0anjueuaunmKbO_REXs7We0D6H7t7lXSuNde3cpcanf3VcjSOO4Ps9aDspkF-qs/s1600/buku_pesta_dan_inta_soe_hok_gie.jpg)
Sebagai aktivis dia sangat dikenal dengan kritikan-kritikannya yang
tajam terhadap pemerintahan kala itu lewat beberapa media massa seperti
KOMPAS, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia dan Indonesia
Raya. Sosok Gie kala itu disegani namun ditakuti, dicari namun dicaci,
dicintai namun juga dibenci. Sebagai seorang pemuda Tionghoa, Gie malah
memiliki jiwa yang amat nasionalis terhadap Indonesia, dia begitu benci
melihat banyaknya ketidak adilan di dunia politik yang mengakibatkan
penderitaan pada rakyat. Dia juga menjadi pionir dalam gerakan
demonstrasi mahasiswa kala itu yang menuntut TRITURA (Tiga Tuntutan
Rakyat) yang isinya penurunan harga bensin yang saat itu melonjak tinggi
sehingga sangat membuat rakyat sengsara dan menderita, merombak kabinet
DWIKORA dan segera membubarkan PKI.
Hok Gie juga dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa,
misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan
Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari
seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah
dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999
diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah.
Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di
Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan
Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat
sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang
diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik
pemerintahan Orde Lama.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3Vc8mfATO8nTYWhb9k5H8ELJUZ7P_3MAdKB0xDJw16jiA5UgnUXPpAuajR39gq4ifdCiPihbTl7lX61kUvLfUV8mmtuTq20ImRprXdWOCY4-QjSL3mKPsZrBKtbT_vIBDWY7vnl5jtG-G/s1600/soe-hok-gie-mapala.jpg)
Memupuk patriotisme yang sehat
Mendidik mental serta fisik seseorang
Mencapai semangat gotong royong dan kesadaran sosial. Ide alumnus FSUI diterima dengan baik oleh beberapa rekan yang sama-sama
menyukai kegiatan di alam bebas, hingga akhirnya terbentuklah
organisasi MAPALA pada tanggal 11 Desember 1964.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiB7c-kjTvklcL8O2cEorps1_ZFkBwG6zhSoFzjVDiVP93fQgUxfPn4X3Z7s7b7TTZqb037xE20xO2zjNiknQgdcraB4zu7vHK8br0oA-i31CfW9aKOBlHZrZYkHPXwOF3vvxwpVOKq1k6E/s1600/soe_hok_gie_mahameru_semeru.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9h5z6NcSOkSTVOafHf7ahl8U8FXhjrBXvnb3ytErXLLsihOkj7wBdqb34AF6WMUIohchoo4HXrCZdEN3cvpqNMdvmRVJRVz1yhMhwvMX4ease-jlNMN20HxNjjhbfeeMp1ozdnulaX9dj/s1600/idhan_dhanvantari_lubis_sahabat_soe_hok_gie.jpg)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjFZqt312fUx0gSSYGrtZjpGdT2EWZEivR8Q73ALx9XOgYB5M0cQY50eao2mQfj6JQF3Qx7K6omWkq4C-e9NOovzSaloAp1PLhPrA5wjEzzOZBnHR3u93EnncYi0zsnJe9j1i27M7c3-gO/s1600/makam_soe_hok_gie_di_tanah_abang.jpg)
Walau Gie menutup tahun di usianya yang terbilang muda, namun
kontribusinya terhadap tanah air sangatlah besar dan ini dikarenakan
kedekatannya pada alam Indonesia. Hal ini seharusnya dapat selalu
menjadi cambuk tersendiri bagi para pecinta alam Indonesia agar menjadi
seorang nasionalis seperti yang telah dicontohkan Soe Hok Gie.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnMNjCHfeGkw-j7jhokY2-eI7dD_HUMU9ngNJ2viNqsRgDAloCwrjkTC3iu8rm97-6Tu-ICTP4pZZ4HhppuA-11hG_cl-I9Xb97qmEbgGV_XcNAMV12mf6foR22o_GncOekkdX2bA0hkU7/s320/film_soe_hok_gie_niholas_saputra.jpg)
Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang
disutradarai Riri Riza, Gie, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai
Hok Gie.
"Nasib terbaik adalah tidak pernah
dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial
adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati
muda."
~Gie: 1942-1969~
Sumber:
No comments:
Post a Comment